Lukman Anzar Nz

Lukman Anzar Nz

Rabu, 06 April 2016

MANFAAT ROLE PLAYING 

DALAM PEMBELAJARAN BAGI MAHASISWA 


Model Pembelajaran Role playing (Bermain Peran)


Bermain peran (Role playing) di dalam kelas, seperti yang diungkapkan oleh Ladousse (dalam Budden) dapat menambah variasi dalam mengajar, juga merupakan perubahan langkah dan kesempatan dalam pembentukan bahasa.
Selain itu, pembelajar juga memperoleh kesenangan dalam belajar. Scarcella dan Crookall, dikutip oleh Tompkins (1998) memberikan tiga teori yang menyatakan bahwa pembelajar akan belajar bahasa apabila: 1) mereka tahu bahwa bahasa tersebut dipakai secara komprehensif, karena mahasiswa ikut serta dalam komunikasi yang asli (genuine). 2) mereka dilibatkan secara aktif, 3) mereka memiliki afek positif (keinginan, perasaan dan sikap). Ketiga hal ini akan sangat membantu mahasiswa untuk mengembangkan pemikiran kritis dan kemampuan menyelesaikan masalah.
Bermain peran (role play) atau kegiatan kreatif dan imajinatif semacam ini akan merangsang mahasiswa untuk berimajinasi dan menantang mereka untuk berfikir dan berbicara (Sadow, dalam Tompkins; 1998).

Role playing (Bermain Peran)

Dauvillier dan Lévy-Hillerich (2004) mengungkapkan, bahwa ketika kita mendengar kata Role playing (bermain peran), muncul dalam benak kita beberapa definisi dari Role playing. Secara umum kita mungkin akan mengartikannya sebagai kata umum dari semua jenis permainan pertunjukkan, mulai pantomim sampai simulasi. Dalam bahasa Inggris, role play memiliki beberapa istilah yang memiliki arti yang hampir sama, yakni simulation, game, role play, simulation-game, role-play simulation dan role-playing game (Crookall dan Oxford dalam Tompkins; 1998).
Menurut Peters, makna Role playing sulit dijelaskan dengan hanya beberapa kata. Dibandingkan jenis permainan kelompok yang lain, Role playing tidak memiliki satu tujuan yang sama (tunggal) yang biasanya harus dicapai oleh pelaku. Dalam Role playing diperlukan kerjasama dan strategi bersama. Selain itu diperlukan juga seseorang yang disebut Spielleiter atau Meister yang mengatur pelaku, menggambarkan dan menghidupkan situasi, tetapi tidak terlibat dalam penyelesaian masalah. Role playing tidak memiliki jalan permainan yang pasti, sistem permainan pun bisa bermacam-macam.
Role playing merupakan satu metode sekaligus permainan yang menuntut pelakunya untuk memerankan satu peran atau pemikiran yang tidak nyata atau dibentuk. Pelaku bertindak seolah-oleh dia berada dalam dunia yang nyata. Alat bantu utama dalam permainan ini adalah fantasi dan imajinasi dari si pelaku sendiri dan juga aturan permainan yang membingkai permainan ini. Dalam Role playing yang bersifat spontan atau bebas, aturan-aturan ini lebih bersifat implisit, sedangkan dalam permainan yang diatur secara ketat aturan ini biasanya berupa handbook, skenario atau semacamnya.

Jenis-jenis Role playing

Pada dasarnya Role playing terdiri atas dua tipe, yakni yang bersifat bebas spontan (frei assoziertes und spontanes Role playing) dan yang diatur secara ketat (reglementiertes Role playing). Role playing yang bersifat bebas dan spontan lebih memberikan kebebasan kepada pelaku untuk berfantasi. Permainan ini dapat dilaksanakan, baik dengan maupun tanpa alat bantu. Sementara itu, Role playing yang diatur memiliki dan harus mengikuti aturan-aturan, rancangan, Spielleiter atau skenario yang tetap (pasti). Semua jenis permainan ditampilkan sesuai dengan aturan-aturan pasti termasuk ke dalam kelompok ini. Menurut Budden, bermain peran merupakan kegiatan berbicara, baik ketika seseorang berperan sebagai orang lain, maupun ketika dia memposisikan diri dalam situasi yang tidak nyata. Pertama, sebagai orang lain; yang menarik dari permainan ini adalah siswa dapat menjadi orang lain yang mereka sukai untuk beberapa saat, misalnya presiden, raja, milyuner, dan lain sebagainya.

Model latihan Role playing dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu individual role-playing exercises dan interactive role-playing exercises.

1. Individual Role-Playing Exercises
Salah satu contoh kegiatan pada model pertama ini adalah; mahasiswa meneliti dan menulis atau mempresentasikan masalah dengan cara dan sudut pandang karakter yang harus diperankan. Inilah yang menjadi tantangan dari model ini.

2. Interactive role-playing exercises
Model kedua yang paling umum dilakukan adalah drama, debat atau collaborative problem-solving exercises.

Manfaat Role playing dalam Pembelajaran
Dalam proses belajar mengajar, Role playing merupakan salah satu metode belajar komunikatif yang berorientasi pada pembelajar. Dari pendapat beberapa ahli dapat dilihat beberapa manfaat penggunaan metode ini, antara lain:

1. Memberikan motivasi kepada mahasiwa
a. aspek kreatif lebih terlihat bermain daripada bekerja
b. tekanan/keharusan untuk memecahkan masalah atau konflik yang dialami karakter mereka lebih memberikan motivasi daripada tekanan ketika mereka harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian. Tekanan semacam ini justru akan mereka temui dalam kehidupan nyata.

2. Menambah/memperkaya sistem pembelajaran tradisional
a. pengajar tidak hanya mencekoki mahasiswa dengan teori-teori
b. bermain peran menunjukkan dunia sebagai tempat yang kompleks dengan masalah-masalah yang kompleks pula. Masalah-masalah ini tidak dapat dipecahkan hanya dengan satu jawaban sederhana yang diingat oleh mahasiswa.
c. mahasiswa belajar bahwa keterampilan yang dipelajari secara terpisah, seperti keterampilan berkomunikasi, sering digunakan secara bersama-sama dalam menyelesaikan berbagai tugas/kegiatan dalam dunia nyata.
d. pembelajaran dengan bermain peran lebih mengutamakan nilai rasa, kreatifitas dan juga pengetahuan.
e. latihan untuk mengutamakan pentingnya orang dan sudut pandang mereka merupakan bekal yang sangat penting bagi mahasiswa di dunia kerja mereka nantinya.

3. Keterampilan untuk kehidupan nyata.
a. mahasiswa harus memahami kebutuhan dan perspektif orang-orang yang ada di sekelilingnya
b. bermain peran dapat meningkatkan kemampuan seperti self-awareness, problem-solving, komunikasi, inisiatif dan kerjasama.
c. dalam penelitian atau problem-solving, mahasiswa lebih bisa menerima atau mengingat ilmu yang mereka kembangkan sendiri, daripada ilmu yang mereka terima dalam perkuliahan.

Menurut Jeremy Harmer yang dikutip Budden, penggunaan Role playing dalam kegiatan pembelajaran dikarenakan alasan berikut:
1. Menyenangkan dan dapat menimbulkan motivasi bagi pembelajar.
2. Semakin banyak kesempatan pembelajar untuk mengungkapkan diri.
3. Memberikan kesempatan yang lebih luas untuk berbicara.

Dalam bermain peran, mahasiswa diberi peran dan situasi. Karena bermain peran menyerupai/meniru kehidupan yang sesungguhnya, maka bahasa yang digunakan akan berkembang, karena mereka harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan situasi dan karakter yang diperankan. Hubungan peran antar mahasiswa dapat mengembangkan kompetensi sosiolinguistik mereka.
Bermain peran merupakan satu metode yang sangat baik dalam pembelajaran bahasa asing kedua. Hal ini diungkapkan oleh Tompkins (1998). Metode ini memberikan semangat untuk berfikir dan berkreativitas serta memberikan kesempatan pembelajar untuk mengembangkan dan melatih keterampilan berbahasa dan kemampuan bertingkah laku dalam situasi yang lebih nyata. Bonnet (2000) dalam laporan hasil penelitiannya menulis, bahwa dengan bermain peran dan berdebat siswa meningkatkan kepercayaan diri mereka untuk berbicara dan berdebat. Seperti pendapat Rebaud dan Sauvé yang dikutip Bonnet, permainan-permainan semacam ini dapat membantu dalam mengungkapkan pendapat, improvisasi, mendengar dan memahami sudut pandang orang lain.
Selain itu, permainan ini juga membantu siswa untuk mengembangkan sikap toleransi dan dalam membuat keputusan. Hal ini akan menuntun siswa untuk berfikir mandiri.

Kekurangan Role playing.

Menurut Blatner, Role playing merupakan teknologi mengintensifkan dan mengakselerasikan pembelajaran. Selain memiliki banyak manfaat, metode ini juga memiliki kekurangan.

Kekurangan yang diungkap oleh Blatner antara lain:

1. Bermain peran merupakan satu metode belajar yang memungkinkan adanya improvisasi dari para pelakunya. Kemampuan untuk melakukan improvisasi ini menuntut rasa keamanan, sehingga pengajar harus memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mempelajari peran yang diberikan lebih dulu (warming-up process). Warming-up ini sebenarnya sudah merupakan bagian dari bermain peran itu sendiri, sehingga waktu akan terkurangi.
2. Adanya anggapan bahwa kemampuan interpersonal lebih mudah dari kemampuan teknis, sehingga mereka cenderung berfikir mampu melakukan Role playing meski mereka belum pernah memperoleh materi/tema yang akan diperankan.

Kaplan, seperti dikutip Tompkins (1998) mengatakan bahwa bermain peran semata-mata hanya terfokus pada tema-tema yang ditentukan yang menggunakan kosakata untuk bidang-bidang tertentu, dan tidak menangkap spontanitas dalam percakapan sehari-hari. Selain itu mahasiswa juga mendapatkan tugas yang mungkin mereka tidak terbiasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar